// // Leave a Comment

Namaku Sudah mati




Gubrakk!!!
Suamiku membanting pintu gubuk. Hampir saja pintunya copot. Kemudian ia pergi, lari entah kemana. Aku tahu dia sakit hati. aku mengerti kekecewaanya terhadapku. Tapi ini adalah pilihan. Aku sudah bosan hidup seperti ini terus. Mengais- ngais rezeki yang terus- terusan nihil. Tanpa ada hasil jelas.
              Evi―anakku yang masih berumur enam tahun, menangis disudut tempat tidur busuknya. Merapatkan kaki kedada, mengisak- isak tangis minta dikasihani. Kututup pintu rapat- rapat. Kemudian tanpa memperdulikan anak semata wayangku, aku mengambil tas besar yang aku guris dari tong sampah rumah orang kaya beberapa bulan lalu. kelihatannya masih bagus, hanya resletingnya saja yang rusak. Dan aku sudah menjahitnya hingga tampak layak pakai lagi.
              “Mau kemana, Ma?” Tanya Evi sambil mengusap- usap air matanya. Membentuk garis liku- liku di pipi kotornya. Rambut panjangnya tak terkucir rapi seperti tadi pagi.
              Aku membuka lemari yang hampir ambruk. Aku harus pelan- pelan mengambil beberapa baju yang ada disitu, atau lemari itu bisa saja menimpaku seperti kejadian seminggu yang lalu. Aku sudah minta Firman untuk memperbaikinya, tapi dia malah terlalu sibuk dengan pekerjaannya yang tak jelas di TPS.

              “Mama mau pergi!” Jawabku singkat. Evi mendekatiku, menarik- narik rokku hampir terlepas.
              “Evi ikut sama mama. Evi gak mau ditinggal sedirian.”
              Lantas aku tersenyum. Membungkukkan badan seraya memegang bahu mungil anakku.
              “Kalau gitu, bantuin mama masukin bajumu kedalam tas, ya?” Diapun bergegas mengambil baju- bajunya kemudian ikut menyusunnya ke dalam tas. Anak perempuan berumur empat tahun itu lugas sekali. Sangat semangat untuk ikut bersamaku. Meskipun ia belum tahu, kemana tujuanku sebenarnya.
Setelah semuanya beres, aku dan Evi keluar dari dalam gubuk bau ini. Merayap ke tengah kota guna mencari sesuatu yang sempat hilang dari kehidupanku dulu.


Panas terik matahari ini tak dapat lagi membuatku merasakan perih membakar kulit. Setiap butiran debu kasat mata menempel di pelipis berminyakku. Serasa aku sudah akrab dengan panas. Ia bagaikan udara segar bagiku. Yah… siapa tahu dengan begini aku juga bisa jadi terbiasa dengan panas neraka, sehingga kelak aku tak perlu menjerit-jerit disana. Namun tak seharusnya aku melibatkan Evi.
              Dibalik dinding tembok pagar sebuah rumah mewah yang dulunya adalah tempat tinggalku ini aku bersembunyi. Mengintai dari luar untuk melihat keadaan rumah tersebut. Ku gandeng erat-eraat tangan anakku yang kurus dan hangat. Mungkin ia bingung apa yang sebenarnya dilakukan oleh ibunya di tempat seperti ini setelah bertengkar dengan ayahnya dan pergi dari rumah karena tidak tahan dengan kehidupan yang selama ini serba melarat.
              Evipun mendongakkan kepalanya lantas bertanya padaku. “Kita ngapain sih, ma? Disinikan panas…” Eluh Evi seraya menutup kepalanya dengan sapu tangan usang. Aku terpaksa tersenyum untuk membuat hatinya tidak bingung dan bersikap tenang.
              “Sabar ya, nak? Sebentar lagi kamu akan ketemu dengan nenek kamu.” Dan aku dapat melihat wajah girang dan senyuman lebar dari bocah mungil ini.
              “Nenek? Evi pengen ketemu sama nenek, ma… Evi pengen punya nenek.” Katanya girang tak sabar ingin bertemu dengan neneknya yang selama ini tak pernah kuperlihatkan padanya. Karena neneknya yang sebenarnya itu sudah hampir empat tahun tidak menjadi ibuku akibat kebodohanku sendiri
              Aku jadi ingat saat aku masih berumur 17 tahun, saat itu aku masih duduk di kelas dua SMA. Masa-masa remaja yang terlalu bebas bagiku. Jatuh cinta dengan seorang pria yang juga sangat mencintaiku namun akhirnya berujung penyesalan. Pria itu bernama Firman, sampai sekarang ia masih suamiku. Namun baru dua jam yang lalu aku memutuskan untuk berpisah dengannya.
Selama aku dan Firman berpacaran, orang tuaku tidak pernah setuju dengan hubungan kami. Karena Firman adalah anak yang berasal dari keluarga miskin dan tidak jelas statusnya. Sedangkan aku berasal dari keluaga yang bisa dibilang kaya dan cukup ternama. Papa dan Mama selalu menuruti setiap keinginanku. Aku sadar mereka sangat sayang padaku.
              Mama memang tidak salah berbicara seperti itu padaku. Karena dia adalah ibu yang sangat baik juga perhatian pada anak gadisnya. Ia ingin melihat aku bisa sukses, menjadi gadis yang kelak bisa berhasil dan membanggakan keluarga. Setiap hari mama tidak pernah lupa memberiku pesan-pesan positif. Tapi terkadang aku mengabaikannya begitu saja. Aku terlalu terlena dengan masa muda.
              Tingkahku semakin menjadi-jadi ketika tahu bahwa hubunganku dengan Firman tidak disetujui oleh orang tuaku. Meskipun Firman adalah orang miskin, tapi aku tahu dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan pasti bisa berubah menjadi orang yang berhasil, karena dia adalah anak yang baik dan pintar. Namun, hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku hamil diluar nikah diusiaku yang masih belia.
              Aku sangat menyesal saat itu, tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan dan apa yang akan aku katakkan pada orang tuaku. Sudah pasti aku akan mempermalukan keluargaku yang selama ini sudah mendidikku baik-baik. Atau mungkin saja aku akan diusir oleh mereka karena perbuatanku yang sungguh memalukkan. Sungguh aku tak ingin membuat mama kecewa atau membuatnya sedih. Akhirnya dengan terpaksa aku meninggalkan pesan lewat surat dan pergi meninggalkan semua yang aku miliki selama ini disaat usia kandunganku 3 bulan. Akupun pergi sejauh mungkin dari rumah dan menikah dengan Firman. Kami berdua terpaksa putus sekolah karena harus menghidupi keluarga.
              Kami terpaksa menjadi pekerja kasar karena pendidikkan yang tidak memadai. Akupun ketularan menjadi pemulung seperti Firman. Dan sejak itu juga, aku tidak pernah bertemu dengan keluargaku lagi.
              Namun beberapa bulan kemudian, tanpa disengaja aku bertemu dengan Rena, orang yang sempat menjadi sahabatku dulu. Jelas dia sangat terkejut melihat keadaanku saat itu.  Ia meminta dan memohon padaku untuk kembali bersama orang tuaku, dia bilang mama sampai sakit karena memikirkan nasibku yang tidak ada kabarnya sama sekali. Aku tahu Rena benar, tapi saat itu aku punya komitmen, untuk tetap pada pendirianku. Hidup bersama lelaki pilihan.
              “Aku tidak bisa, Ren… aku sudah terlanjur malu dengan keluargaku. Mereka pasti tidak mau menerimaku lagi sebagai anak. Apa kau tidak lihat keadaanku sekarang? Mau ditaruh dimana mukaku?” Kataku sambil menangis dihadapan Rena saat itu.
              “Enggak, Sis… mereka masih sayang sama kamu. Pulanglah… kasihan mama kamu. Dia sangat rindu dengan anak perempuannya.” Pinta Rena memohon. Namun aku tetap bersikeras tidak ingin kembali kerumah, walaupun sebenarnya aku ingin sekali. Jujur, hatiku bimbang saat itu.
              “Aku sudah punya anak, Ren. Dan aku harus bertanggung jawab dengan keluargaku. Mereka pasti tidak mau menerima Firman sebagai suamiku. Lebih baik kamu pergi dari sini dan jangan bilang pada mama kalau kita pernah bertemu.”
              “Kamu jahat, Siska! Tega sekali kamu pada mamamu! Aku tahu sebenarnya kamu sangat menyesal meninggalkan semuanya. Apalagi dengan kehidupanmu yang miskin seperti ini. Padahal dulu kamu punya hidup yang serba enak, tapi kamu menyia-nyiakannya begitu saja.” Dan akupun pergi tanpa menghiraukan kata-kata Rena.
              “Kamu benar- benar anak durhaka, Sis!! Kamu akan tahu akibatnya nanti!” Kalimat terakhir Rena seolah menjadi kutukan buatku.
              Dan sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Rena lagi. Setelah enam tahun.
              Namun akhirnya apa yang pernah dikatakkan Rena kini menjadi akibat dalam hidup. Aku sangat menyesal, namun entah kenapa penyesalan selalu datang terlambat. Aku sempat berpikir kalau kehidupanku mungkin tidak bisa kembali seperti dulu lagi.
              Tapi beberapa hari yang lalu, aku mulai merasa bosan dengan kehidupanku yang amat melarat. Aku sudah tidak tahan menjadi seorang pemulung yang kerjanya hanya mengorek-ngorek tempat sampah. Mencari barang–barang bekas yang hasilnya hanya pas-pasan buat makan sehari-hari. Bahkan terkadang kami tidak makan seharian. Hidup di pinggiran Kota memang sungguh menyiksa. Ditengah- tengah sebuah koloni orang- orang tak ber-etika.
Juga kulitku yang menjadi buruk, terlalu banyak sel-sel kulit mati yang timbul akibat keseringan terkena terik matahari dan air yang kotor. Padahal dulunya kehidupanku serba enak, kulitku mulus karena selalu dirawat. Dan saat ini, aku ingin mengembalikan semua itu. Aku bertekad untuk bisa mengembalikan masa- masa kejayaanku.
              Detik ini juga aku akan masuk kedalam rumah ini dan meminta maaf pada keluargaku, berharap mereka mau menerimaku lagi sebagai anak yang selama ini mereka rindukan. Walaupun sebenarnya aku malu dengan keadaanku yang dekil seperti ini. Tapi itu tidak akan mengurungkan niatku.
              Aku kembali melongokkan kepalaku kearah halaman depan rumah. Aku melihat Deny, kakak laki-lakiku yang lebih tua satu tahun umurnya dariku sedang mencuci mobil honda Jazznya. Aku senang sekali melihatnya. Beberapa menit kemudian aku melihat Rena keluar dari garasi. Aku tak tahu mengapa Rena bisa ada dirumah itu. Dia mengenakkan kaus orange milikku dulu. Sejujurnya aku tidak ikhlas baju itu ia pakai, dan itu menimbulkan rasa heran bagiku. Memang sih dulunya Rena itu sering datang kerumahku, dia sudah seperti saudara sendiri bagi kami. Tapi setahuku, dia tidak pernah datang kerumah sore-sore begini.
              Rena berjalan menghampiri Deny yang sedang serius mencuci mobilnya. Kemudian mengejek Deny dengan kata-kata lucu. Mereka berduapun tertawa terbahak-bahak, Dengan spontan Deny menyemprotkan air kewajah Rena sampai basah kuyup. Rena menjerit-jerit seraya tertawa dengan tingkah mereka.
              Entah kenapa tiba-tiba timbul rasa cemburu didadaku, mereka begitu bahagia, sedangkan aku disini menderita selama bertahun-tahun. Atau mungkin mereka sudah menghapus namaku dari daftar kehidupan mereka.
              Lagi-lagi Evi menarik tanganku kemudian bertanya. “Mereka itu siapa, ma?”
              “Laki-laki itu… om kamu, Vi. Dan perempuan itu, sahabat mama dulu.”
              “Mereka cocok ya?” Aku tak berkomentar. Justru kata-kata Evi membuatku semakin terbakar.
              Selang beberapa menit, orang yang sangat ingin aku temui keluar dari pintu depan. Aku menangis melihat mama. Dia mengenakan daster warna merah, itu adalah daster yang pernah aku belikan di hari ulang tahunnya yang ke empat puluh satu tahun. Itu adalah daster favoritnya. Aku tidak menyangka ia masih suka mengenakannya.
Seketika itu juga, air mataku meleleh. Tangis sesal, bahagia, juga rasa bersalah, bercampur manjadi satu. Ingin sekali rasanya aku berlari menghampirinya. Memeluk tubuh mama erat-erat tanpa ada keinginan untuk melepasnya. Ingin sekali aku mendengar kata-kata sayang dari bibirnya. Melihat senyuman tulus dari bibirnya. Rindu dengan tatapan mata penuh kasih sayang. Dan aku rindu dengan ayam goreng buatan mama. Dulu ia sering membuatkannya untukku sepulang sekolah.
Astaghfirulloh ‘al adzimm… hatiku semakin teriris mengingat semua itu. Aku semakin tak sabar ingin bertemu dengan mereka semua, Tanpa perlu berlama- lama, segera ku pegang pagar besi besar ini untuk bisa masuk kedalam.
              Kutarik nafas dalam-dalam dan kuusap dadaku yang berdebar-debar. Aku bimbang, ragu dan juga takut. Namun, sejenak aku mendengar percakapan mama dengan mereka.
              “Deny! Hentikan! Kamu bisa bikin adik kamu masuk angin… nanti kalau Rena sakit gimana?” Mataku langsung terbelalak, mulutku ternganga mendengar kata-kata yeng keluar dari mulut mama.
Adik? Adik Deny?
Apa maksudnya?
              Aku kembali memasang telinga tajam-tajam, mencoba mencari jawaban. Kulihat mama mendekati Rena dan membasuh muka Rena dengan tangannya. “Kak Deny tiba-tiba nyiram aku, ma…pake air sabun lagi.”
              “Deny! Mama gak pengen ada anak mama yang jadi sakit. Sudah cukup main airnya, lihat! Anak gadis mama jadi basah kuyup begini..” Dan Rena merangkul mama kamudian mencium pipi mama dengan manja.
Ini tak lazim, ini tak mungkin. Aku sangat terkejut saat itu juga. Seolah petir berskala besar menghantam tubuhku yang luluh akibat pedihnya luka. Aku tidak percaya semua ini. Sahabatku sendiri, kini menjadi anak dari ibuku sendiri? Ternyata selama aku menghilang, Rena telah menggantikan posisiku sebagai bagian dari keluargaku. Rena, sahabat yang dulu memohon-mohon memintaku untuk kembali, kini menjadi anak mamaku. Betapa bodohnya aku membiarkan semua ini terjadi.
Hatiku teramat sakit, ternyata selama ini aku memang dianggap sudah tidak ada. Aku tidak mungkin melanjutkan niatku ini. Kalaupun aku kembali kerumah, aku pasti akan sangat malu karena namaku sudah dihapus dari daftar keluarga. Apalagi mereka telah mendapatkan seorang penggantiku. Yang notabene: adalah sahabatku sendiri. Aku tidak mungkin kembali, tidak akan mungkin bisa.
Aku menangis sejadinya. Mungkin sudah takdirku untuk menjadi seorang miskin selamanya dan tidak mungkin bertemu dengan keluargaku. Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Evi untuk mempertemukan ia dengan neneknya. Evi pasti sangat kecewa. Sungguh aku makhluk yang malang.
Kini kehidupanku sudah seperti serpihan kaca, tidak akan bisa disatukan kembali beling-beling yang sudah hancur. Andai saja dulu aku mau mengikuti setiap nasihat mama, mungkin hidupku tidak akan separah ini. Tapi kini terlanjur. Kalaupun serpihan kaca itu bisa disatukan, butuh perekat yang kuat sebagai penebus kesalahanku selama ini.
        Aku pergi dari tempat ini dengan penuh kesedihan serta penyesalan, begitu mata mama memperhatikan diriku.

Reaksimu?

Share ya kalau suka

Tentang Penulis

0 komentar:

Catat Ulasan

close