// // Leave a Comment

Ukiran Dibalik Sebuah Pohon Tua


Disini aku mengenang kejadian yang telah menimpa keluargaku empat tahun yang lalu. Dibalik bukit yang penuh dengan rerumputan aku bersandar dibawah pohon besar yang sudah tua. Aku melihat ukiran nama yang tidak asing lagi bagiku, sesekali ku belai dengan lembut huruf demi hurufnya, aku ciumi huruf yang ada dipohon tua itu. Tidak aku sadari, air mataku jatuh perlahan membasahi pipiku.

Bunda”, itulah huruf yang aku ukir saat empat tahun yang lalu bersama nya. Kenangan manis saat bersamanya, canda tawa yang pernah memberi warna dikehidupanku, seakan sirna sekejap atas kehendak NYA. Keluargaku hanyalah keluarga yang sederhana, hidup dengan berkecukupan, yang berusaha menjadi sebuah keluarga yang harmonis. Tetapi sebuah kejadian yang mengejutkanku tiba-tiba datang menghampiri keluargaku. Perusahaan yang dirintis oleh ayahku habis terbakar oleh api yang membara yang menyebabkan keluargaku bangkrut..

Seakan akan musibah terus menerus menghampiri keluargaku, tidak hanya keluagaku jatuh miskin sekarang malah kehidupan dikeluargaku menjadi tidaklah tenang dan nyaman seperti dulu lagi. Entah berapa banyak air mata yang aku keluarkan setiap harinya, hanya tuhanlah yang tahu semua itu.

Kejadian itu terjadi saat empat  tahun yang lalu ketika aku melihat bunda tergeletak dibawah tempat tidurnya tidak sadarkan diri. “BUNDA,BUNDA,… bangun, bukalah matamu,..bukalah matamu bunda..” teriak ku. Saat itu bunda tidak menjawab satu kata pun kepada ku, aku berusaha untuk membangunkannya, tetapi semuanya yang aku lakukan hanya sia-sia saja. Aku coba lihat wajahnya, yang semakin lama semakin memucat, dan ku pegang tangannya semakin lama semakin mendingin.


Aku bingung, aku harus berbuat apa, aku hanyalah seorang gadis kecil yang manja, yang belum bisa berbuat banyank kepada orang tua ku.
“bunda, bangunlah,BUNDA bangunlah apa yang kau lakukan di bawah sini..!!!” pekik ku. Aku hanya bisa menunggu matanya terbuka untuk memandang wajah lugu ku. Tetapi itu tak ada gunanya, aku terlalu khawatir dengan keadaanya. Aku bergegas keluar rumah, berteriak meminta tolong kepada tetangga yang berharap dapat mendengar teriakanku.

“TOLONG…. TOLONG… Tolonglah Bundaku, TOLONG siapa saja yang dapat menolong bundaku...!!” teriak ku, yang tak sadar air mata telah membasahi pipiku. Tetangga yang mendengar teriakan ku, satu per satu menghampiri aku dengan cemasnya. Aku langsung mengajak mereka masuk kedalam kamar bunda, berharap bunda masih bisa bertahan untuk hidup.

Jam pun menunjukkan pukul 10:00 WIB, aku yang cemas cepat-cepat mengambil hand phone ku dikamar dan ku cari kontak yang bernama ayah, dan segera ku telphon ayah untuk cepat pulang. “Ayah,ini Nia, Cepatlah pulang ,Bunda dibawa kerumah sakit, Nia takut sendiri disini,pulanglah ayah.” aku pun perlahan mulai menangis. Ayah ku pun hanya bisa berkata “oh syukurlah, kalau bundamu masuk rumah sakit, biar dia rasakan apa itu rasanya sakit”.

 Aku pun terkejut saat ayah berbicara kasar, tentang bunda yang aku sayangi. Jantungku berdegup dengan kencang, mukaku memerah ketika mendengar perkataan yang keluar dari mulut ayahku sendiri. Dengan tak sadarnya aku berani berkata yang tidak sopan kepada ayahku sendiri , “ Ayah jahat sama Bunda, Nia benci ayah, ayah tega sama Nia dan Bunda, AYAH JAHAT!” seketika aku pun menutup telephone ku dan bergegas untuk melihat keadaan Bunda dirumah Sakit.




Aku mencoba untuk tak mengingat semua perkataan ayah kepadaku, terlalu sakit untuk didengar, seakan akan aku mau memukul ayah saat itu, tapi aku hanyalah gadis kecil yang tidak punya kekuatan untuk memukulnya. Sekarang aku hanya ingin bunda sembuh, dan dapat bermain lagi bersama ku. “Sekarang bunda bagaimana keadaanya ya tuhanku, janganlah kau siksa bunda yang aku sayangi ini, aku terlalu cinta dia” aku hanya bisa menagis.

Aku terkejut saat aku ketahui Bunda sekarang berada diruang ICU dengan menggunakan alat bantu pernafasan, terbaring lemah diatas kasurnya, tak sadarkan diri hingga sekarang. Aku mendekati Bunda, ku pegang jemarinya yang lembut, kuciumi tangannya, ku belai-belai rambut ikal hitamnya, kusayangi dia, berharap dia membuka matanya dan tersenyum manis kepadaku seperti dulu lagi.

Tiba-tiba bunda membuka matanya, aku pun sangat senag melihat bunda menggenggam tangan kecilku, dan perlahan bunda mengapus air mata yang ada dipipiku. Seakan tuhan mendengar suara hatiku saat itu. Tak lama kemudia aku mendengar suara Bunda, “ Nia, anakku sayang, janganlah menagis nak, bunda baik-baik saja nak, bunda sayang sama Nia, bunda tidak akan kemana-mana” tiba-tiba suara bunda semakin lama semakin menjauh dan menghilang, mata bunda menutup, dan wajahku dari tersenyum berubah menjadi suram ketika genggaman tangan bunda terlepas dari tanganku.

“BUNDA.. Bangunlah bunda..bicaralah,, Dokter… suster… Tolong Bantu Bunda ku, aku sangat menyanyanginya” teriakku. Tidak lama setelah aku berteriak Dokter pun menghampiri ruangan rawat Bunda, dan menyuruhku untuk membiarkan bunda sendiri di ruangan yang dingin itu. Aku tidak bisa tinggal diam, aku terlalu cemas dengan keadaanya. Diam-diam aku dekati pintu ruang rawat, dan aku mendengarkan pembicaraan dokter dengan susternya.



Aku terkejut, jantungku terasa mau pecah, hatiku pilu, serasa tersayat pisau yang sangat tajam, aliran darahku seakan tak mengalir lagi, mendengar dokter berkata kalau Bundaku sudah dipanggil oleh penciptanya. Aku tertunduk lesu, tersender didepan pintu ruang rawat bundaku, menjerit, kesakitan hatiku, air mata tak dapat lagi aku bendung, seakan tuhan tak adil kepadaku.

Air mata telah membanjiri pipi, aku menangis tersedu-sedu, mengingat kenangan terindah bersamanya saat dia masih hidup. Aku tiada henti-hentinya menangis, begitu sakit yang aku rasakan, tetapi tiba-tiba tangisanku terhenti saat ayahku muncul dihadapanku dan menghapus air mataku. Aku menepis tangan ayahku, serasa tangannya tak pantas menyentuh pipiku.

Tiba-tiba ayah menundukkan kepalanya, bersujut dan memegang kakiku sambil menagis. “Maafkan ayah Nia,,, maafkan ayah,, ayah mengakui ayah salah kepada Nia dan Bunda,, Maafkan ayah nak.,”. Amarahku belumlah padam, dan aku aku terlanjur sakit kepada ayah. Lagi-lagi aku berkata kasar kepada ayah,

”Apakah ayah belum puas,, dengan semua yang ayah lakukan pada kami, apakah ayah tak tahu kalau Bunda sudah pergi meninggalkanku selamanya, apakah ayah masih mau menyakiti hati bunda yang suci itu, aku sangat sayang pada bunda ayah, dan ayah malah menyakiti nya, aku tahu ayah tidak peduli lagi sama bunda, tapi aku peduli ayah, dia bunda yang, melhirkan aku”.  Aku pun menangis terisak-isak, dengan membuang mukaku jauh dari hadapan ayahku.

“Nia, maafkan ayah, ayah salah, ayah mengaku salah, apakah nia mau ayah menyul bundamu, pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya baru nia maafkan ayah,??  Kalau itu mau nia bunuh saja ayah, ayah tak bisa hidup dengan semua kesalahan kesalahan ini”  guman ayah.


Seketika hatiku terasa pilu mendengar perkataan ayah, aku yakin, didunia ini tidak ada namanya mantan ayah atau pun matan anak, dan aku juga yakin durhakalah aku sebagai anak jika berbuat kasar kepada orang tuaku sendiri. Dan aku yakin tuhan saja bisa memaafkan hambanya, kenapa aku tidak bisa memaafkan ayahku sendiri, aku tidak boleh sepert ini terus, aku harus buka hati untuk  ayah lagi.

“ Ayah, kumohon berdirilah aku,sayang padamu, aku tak punya siapa-siapa lagi sekarang ini, selain dirimu ayah, durhakalah aku sebagai anak,bila memperlakukan ayah seperti ini, Nia minta maaf sama ayah,Nia sayang ayah!!”. Seketika aku memeluk ayah ku erat-erat, melepas kerinduanku selama ini yang lama kupendam kepada ayah.
“Bunda, semoga kau tenang disana, aku akan selalu mendo’akanmu, aku akan jaga ayah disini dengan baik, semoga nantinya ayah dapat berubah menjadi ayah yang dulu lagi, yang dapat kembali ceria, tertawa bersama seperti saat bunda masih ada” pikrku .

Seketika lamunanku terpecahkan saat sosok wanita menghampiriku dan menarik tanganku dari sandaran pohon tua, menuju bukit yang penuh dengan rerumputan. Tangan yang halus itu menunjuk ke arah utara, dan pandanganku pun tertuju kearah tangannya.

Sebuah pelangi yang indah menghiasi langit dari balik bukit, membuat aku tersenyum kembali setelah berapa lama aku terpaku dibawah pohon tua melihat ukiran empat tahun yang lalu.

“Bunda, aku sekarang bahagia, dengan bunda baruku, kau tak perlu mekhawatirkan aku, dia bunda yang baik hati sepertimu, akan ku pastikan ayah akan tertawa seperti dulu lagi bila bersamanya, BUNDA aku sayang kamu, do’aku akan selalu menyertaimu, terimaksih bunda.”

Reaksimu?

Share ya kalau suka

Tentang Penulis

0 komentar:

Catat Ulasan

close